Saturday, August 30, 2008

Kalau "Ini" Boleh, Kenapa "Itu" Tidak Boleh ?

Sebenarnya, anarki telah dilakukan oleh masyarakat dan tokoh-tokohnya sejak puluhan tahun yang lalu. Perilaku ini jauh dari kekerasan, namun lebih mencekam daripada kekerasan anarkis yang akhir-akhir ini sering terjadi dengan mengatasnamakan agama tertentu, bahkan orang-orangnya berwajah santun, dengan nyanyian-nyanyian indah yang membuai telinga (bagi yang suka mendengarnya).

Perilaku ini biasanya terjadi di masjid-masjid, rumah-rumah di kampung tempat suatu even-even kegiatan keagamaan berlangsung, yaitu berupa tembang puji-pujian, seusai adzan sholat dikumandangkan, atau pembacaan ayat suci Al QurĂ¡n dengan pengeras suara.

Ini adalah perilaku anarkis, di mana, semua orang di sekitar masjid "diwajibkan" mendengar lagu-lagu pujian yang tidak diketahui kesahihan sumber-sumbernya ini. Mereka yang melantunkan pun, bila ditanya, tak tahu sumber lagu-lagu itu dari mana. Imam masjid, atau kyainya, jika ditanya, paling hanya menyodorkan hadits-hadits lemah atau palsu, atau bahkan kisah-kisah
israiliyat yang tak dapat dijadikan sandaran.

Orang-orang sekitar, entah mengikuti pengajian itu atau tidak, entah setuju atau tidak setuju dengan syair-syair yang dialunkan keras-keras itu, "wajib" mendengarnya. Tak boleh ada protes, yang protes akan mendapat sanksi moral, dijauhi dan dikucilkan.

Akibat lebih jauh, yang berbeda ini akan dicap sesat, memecah belah umat, dsb. Sanksi moral dari masyarakat lebih kejam daripada vonis pengadilan. Jika vonis pengadilan dapat direkayasa, maka sanksi moral lebih memiliki daya sihir, meski secara pelan-pelan ... menciptakan manusia-manusia berjiwa sakit yang pada gilirannya akan mampu melakukan kegilaan-kegilaan yang lebih anarkis, yang bahkan mungkin tak disangka-sangka dapat dilakukan, atau sekadar mengasilkan split personality, kepribadian ganda yang skeptis-apatis memandang dunia.

Di kalangan masyarakat yang berpenyakit, maka orang sehat akan disebut aneh. Di antara orang-orang gila, yang waras akan dituding gila, dan sebaliknya kegilaan akan dibilang ‘normal’.

Sungguh, dalam keadaan seperti ini, kita membutuhkan pedoman hidup yang benar-benar benar, asli, tak pernah diubah oleh tangan-tangan kotor manusia, dan dapat dipercaya. Sebagai seorang muslim, aku harus menyatakan bahwa hanya Al Qur’an dan Sunnah (yang sahih), itulah pedoman yang kubutuhkan.

Maka, mengenai anarkisme, apapun alasannya, tidak boleh dibenarkan. Bila kita mengkritisi anarkisme dalam bentuk kekerasan yang sering terjadi akhir-akhir ini dengan membawa-bawa nama agama, maka supaya adil kita juga harus mencermati anarki yang mengendap-endap, mengintip dan perlahan-lahan menciptakan anarki baru.

Kalau “itu” tidak boleh, mengapa “ini” boleh, bahkan disebut-sebut sebagai ibadah, atau “metode dakwah” yang inklusif (karena menyesuaikan diri dengan adat istiadat setempat) dan toleran ?


Anarki Bulan Ramadhan

Semua “keramaian” itu akan berlipatganda intensitasnya saat bulan puasa tiba. Dari pagi, siang, sore, malam, dini hari, sampai pagi tiba kembali. Suara apa pun ada : mercon, thong-thong prek, penggunaan pengeras suara untuk membangunkan sahur, tadarusan sampai larut malam, pengajian subuh, dhuha, asar, kultum tarawih, hingga takbir keliling malam lebaran.

Semua orang, apa pun keyakinannya, harus “ikut mendengarkan” semua suara itu, entah setuju atau tidak dengan suara-suara itu. Sesama umat yang tidak setuju juga (pasti) ada, apalagi umat agama lain yang jelas-jelas berbeda kepentingannya ? Bagaimana pertanggungjawaban mereka yang memerintahkan, melakukan, dan membiarkan terjadinya hal-hal seperti ini ?

Bulan Ramadhan yang (seharusnya) suci justru menjadi bulan penuh banyolan, dagelan, ngabuburit, tabuh bedug …,

Bulan puasa menjelma bulan penuh anarki yang akan melahirkan anarki-anarki lain pada bulan-bulan berikutnya.

Akibatnya, semua termasuk perilaku maaf memaafkan hanya tradisi rutin yang tak berpengaruh apa-apa bagi kemaslahatan umat.

Pada gilirannya, sepanjang tahun kita hanya sibuk dari satu acara ke acara berikutnya. Setiap hari sepanjang tahun manusia negeri ini cukup sekadar bergelut dengan symbol-simbol, penanda, ikon-ikon, ritual, seremoni. Kita cukup bangga hanya menjadi pengikut, anak buah orang-orang besar, kyai, keturunan orang-orang hebat (bahkan menjadikannya sebagai bahan kampanye).

Nyawa manusia menjadi murah karena memang hampir tak pernah ada manusia hidup di sini. Anarki menghancurkan segalanya … amat pelan … setahap demi setahap …

lintasberita
Powered By LintasBerita

No comments:

LEAVE YOUR MESSAGE HERE ...


Free chat widget @ ShoutMix