Friday, December 31, 2010

Revitalisasi Madrasah

Barangkali benar, sistem pendidikan nasional dewasa ini sekadar meneruskan sistem yang sama diterapkan pada masa kolonial dahulu.

Saat itu, penjajah lebih mementingkan sekolah-sekolah bentukannya sendiri, yang kemudian hari disebut sebagai sekolah negeri. Sebaliknya, lembaga-lembaga pendidikan rintisan masyarakat disebut dengan wilde scholen, ‘sekolah liar’, yang kemudian disebut sekolah swasta (“Sejarah Pendidikan Indonesia”, S. Nasution, PT. Bumi Aksara, 2008).

Apa yang terjadi semenjak pemerintah kolonial mendirikan sekolah-sekolahnya pada pertengahan tahun 1700-an ? Justru penjajahan semakin langgeng, karena sekolah-sekolah negeri bentukan Belanda hanya menjadi perlambang status sebagai bagian masyarakat yang terhormat. Anak-anak sekolah bentukan Belanda acapkali kemudian menjadi pegawai pemerintah penjajah yang sering mengkhianati bangsanya sendiri dan, sebaliknya, menjilat muka penjajah.

Bagaimana pula yang terjadi ketika masyarakat mulai berinisiatif mendirikan sekolah-sekolah, yaitu Taman Siswa yang berorientasi nasionalisme dan Muhammadiyah yang bersifat keislaman, pada awal tahun 1900-an ? Sejak saat itu lahirlah generasi terdidik yang kemudian mendirikan organisasi-organisasi pergerakan bangsa yang lebih modern dan terorganisir, dan pada saatnya memproklamirkan kemerdekaan bangsa.

Perjuangan rakyat yang sekian ratus tahun menemui jalan buntu, pada waktu itu mendapati momentumnya justru ketika masyarakat berinisiatif mendidik dirinya sendiri dengan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang oleh pemerintah kolonial pada saat itu disebut dengan ‘sekolah liar’.

Inilah cikal bakal madrasah, yang berawal dari sekolah-sekolah swasta bentukan masyarakat sendiri sebagai wujud kegeraman atas sekolah-sekolah bentukan penjajah.

Dalam perkembangannya, sekolah umum lebih diminati kalangan orangtua murid ketimbang madrasah. Ini merupakan ironi, sebab, selain porsi pendidikan agama di sekolah umum yang sedikit, pula karena praktek pengajaran ala penjajah masih kerap ditemui pada sekolah umum. Misalnya, pencekokan materi pelajaran yang sejatinya pengkerdilan daya nalar peserta didik, pendapat guru selalu benar - tak boleh dibantah, dll.

Dengan landasan semangat kembali pada perjuangan bangsa, maka Kementerian Agama agaknya tengah berupaya maksimal menguri-uri eksistensi madrasah. Dalam kondisi moral bangsa yang disipongangi berbagai bencana fisik maupun akhlak, revitalisasi madrasah menemukan alasannya. Program kementerian ini antara lain menelurkan program MEDP (Madrasah Education Development Project) yang saat ini masih dalam tahap pertama, mendirikan berbagai madrasah berstandar internasional di beberapa wilayah, mengiklankan madrasah di stasiun-stasiun televisi (beserta film “Simba dan Sahabat”, yang berkisah mengenai haru-biru murid madrasah).

Upaya pemerintah ini patut disambut hangat karena, di luar berbagai cap jelek yang ditabalkan pada Kementerian Agama, disemangati oleh romantisme kembali pada eksistensi awal sebagai bangsa pejuang yang ‘berdikari’ (berdiri di atas kaki sendiri, meminjam istilah Bung Karno), bukan bangsa pegawai, yang sekadar mewarisi sistem peninggalan bangsa penjajah.

Penulis, mengajar di MI Sutapranan,

Kec. Dukuhturi, Kab. Tegal

lintasberita
Powered By LintasBerita

No comments:

LEAVE YOUR MESSAGE HERE ...


Free chat widget @ ShoutMix