Saturday, December 12, 2009

MENANTI MASYARAKAT PEMBELAJAR

Gonjang-ganjing keputusan Mahkamah Agung yang melarang pelaksanaan Ujian Nasional tak dapat dilepaskan dari kondisi nyata sosial masyarakat yang ada. Keadaan yang membuat orangtua murid selalu menuntut agar anaknya naik kelas, lulus ujian, bagaimanapun mutu intelektualitas anaknya tersebut. Hal ini menjadikan masyarakat, dalam hal ini orangtua peserta didik, menjadi faktor yang paling sukar ditakar kompetensinya akan mutu pendidikan.

Jika pemerintah dan masyarakat dihadapkan vis a vis, maka program pemerintah relative lebih mudah dikoreksi, ketimbang perilaku masyarakat. Tak mungkin suatu program pendidikan dirancang agar peserta didik tawuran, nyontek pada saat ujian, bergaul bebas dengan lawan jenisnya, dan pada gilirannya, supaya tidak lulus sekolah, dll.

Kalaulah terjadi hal-hal negatif seperti tersebut di atas, ini mengindikasikan terjadinya missing link, keterputusan fungsi di antara pihak-pihak yang berkepentingan dalam pendidikan.

Setidaknya, ada empat pihak yang berkepentingan dalam bidang pendidikan. Pertama, pemerintah, sudah menjalankan fungsinya melaksanakan UU Sisdiknas sebagai amanat pasal 31 UUD 1945, mendirikan sekolah-sekolah di pelosok nusantara, dan menggelontorkan dana hingga 20% dari APBN untuk bidang pendidikan. Jika ada satu dua kebijakan yang tidak berhasil tentu bukan itu sasarannya.

Kedua, guru (dan kepala sekolah) sebagai pendidik, mengikuti berbagai macam seminar, pelatihan, workshop demi peningkatan kinerjanya di sekolah. Berbagai pelatihan itu kemudian sedikit banyak diterapkan dalam pembelajaran di kelas-kelas. Minimal ataupun maksimal hasilnya, toh para pendidik telah menjalankan tugasnya. Bila ada satu dua pendidik yang mangkir, mengajar asal-asalan, memukul siswa, ini pasti tak dapat digeneralisir.

Ketiga, peserta didik, telah mengonsumsi proses pembelajaran secara teratur. Perlengkapannya pun tentu sudah disediakan orangtuanya masing-masing. Beberapa di antara mereka mencapai prestasi bagus, namun lebih banyak lagi yang tidak. Yang jelas, mereka sudah rutin berangkat ke sekolah. Kalau ada satu dua peserta didik yang membolos, sering tawuran, atau peralatan sekolahnya kurang, pasti ini bukan gambaran umum peserta didik negeri ini.

Pihak keempat, masyarakat pada umumnya (dan wali murid pada khususnya), sebagai stake holders pendidikan, adalah pihak yang paling sulit diukur komitmennya sehingga tak mudah pula mengorganisir partisipasinya. Sebagian (kecil) masyarakat kita peduli akan pendidikan anak-anak mereka, sebagian (besar) lainnya tak mau tahu.

Kebanyakan wali murid memandang sekolah sebagai institusi sempurna yang tak boleh cacat sedikit pun. Baik-buruk pendidikan ditentukan oleh lembaga penyelenggaranya, sedang komitmen masyarakat terhadap bidang ini, tak pernah diintrospeksi. Mereka pikir dengan membelikan perlengkapan sekolah, tugas mereka berakhir, dan tugas guru bermula. Orangtua bertugas mencari nafkah untuk membiayai pendidikan anaknya, anak belajar di sekolah, dan guru mengajar dengan sebaik-baiknya. Sesederhana itu. Belum ada kesadaran akan pentingnya long life education sebagaimana dicanangkan PBB. Masyarakat belum terbiasa untuk berpikir ilmiah dan bertindak logis. Dalam masyarakat seperti ini, guru acapkali bertugas sebagai pengajar sekaligus sebagai baby sitter.

Padahal jika semua unsur tersebut berfungsi optimal, maka tak perlu ada keluhan mengenai kesenjangan kualitas pendidikan di desa dengan kota, hingga pada gilirannya, pula tak ada keluhan mengenai ujian nasional. Bibit seunggul apa pun kecil kemungkinannya tumbuh subur di ladang tandus. lintasberita
Powered By LintasBerita

No comments:

LEAVE YOUR MESSAGE HERE ...


Free chat widget @ ShoutMix